Biografi Singkat Guru Mulia Almagfurlah TGH. Ibrahim Al-Khalidy
TGH. Ibrahim Al-Khalidy al-Anfanảni, lahir bulan Muharam 1330 H/1912 M. Anak bungsu TGH. Khalidy (w.1358 H), salah seorang tuan guru yang lahir dari garis keturunan bangsawan Kerajaan Selaparang Lombok.
Masa kecilnya dihabiskan di Lombok, mengaji Al-Qur’an bersama sang ayah hingga khatam di usia 8 tahun. Suasana keluarga yang religius menjadikan sosok Ibrahim kecil tumbuh berkembang di tengah keluarga yang sehari-hari memberikan pencerahan agama bagi anak-anak muda di desa Kediri. Daerah ini sekarang dikenal dengan Kota Santri di Lombok Barat.
Menjelang usia 10 tahun, Ibrahim kecil dikirim dan dititip orang tuanya bersama Tgh. Muhammad Arsyad Sumbawa untuk menyusul kedua saudaranya, Tgh. Abdusssatar Al-Khalidy, dan Tgh. Mustafa Al-Khalidy belajar ke Makkah al-Mukarramah. Kedua saudaranya telah berangkat terlebih dahulu pada tahun 1918 M usai perang dunia I.
Dalam tradisi masyarakat Sasak kala itu, ketika seorang telah berniat menunaikan ibadah haji, bermukim ditanah suci Makkah untuk menuntut ilmu merupakan suatu kelaziman. Selain itu, sulitnya alat transportasi dan jarak yang ditempuh memakan waktu berbulan-bulan membuat tradisi bermukim untuk menuntut ilmu menjadi keharusan. Perjalanan haji awal abad ke-20 dari Lombok ke Haramayn terekam dalam biografi Tgh. Muhammad Shaleh Hambali Bengkel, yang menunaikan
ibadah haji tahun 1908. Dalam tulisannya
ia menorehkan rute pelayaran dari Ampenan Lombok ke Surabaya menuju Jakarta dan Padang melewati Laut Aceh, Laut Ceylon (Srilanka), Laut Socotra, Laut Aden (Yaman),Laut Mocha, Selat Baboel Mandeb, Jizan,Kamaran, baru kemudian sampai ke Jeddah.
Setelah setahun mukim di Makkah, Pada tahun 1923 ayahanda Ibrahim beserta keluarga besar berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji sambil menjenguk anak-anaknya
Kondisi keamanan kota suci ini kurang terkendali karena suasana politik pada 1924, akibat perebutan kekuasaan oleh Ibn Sa’ud, karena itu, mereka pulang bersama-sama ke Lombok.
Setelah Haramayn dikuasai Ibnu Sa’ud, kondisi Mekah berangsur-angsur pulih di bawah Kekuasaan Raja Abdul Aziz ibn Abdurahman, keluarga Su’ud. Kondisi ini memberikan luang para pelajar untuk berangkat kembali ke tanah suci menuntut ilmu, maka pada tahun 1927 Ibrahim melanjutkan studinya yang tertunda. Setelah hampir tiga tahun mukim kembali di Makkah ia dipertemukan dan diperkenalkan dengan seorang mukimin (Hj. Maryam binti Abdullah ibn Umar Al-Bantani ) gadis keturunan kerajaan Banten hingga mempersuntingnya pada tahun 1930 M.Pernikahan ini mempertemukan hubungan kekeluargaan tuan guru dengan Syekh Nawawi ibn Umar Al-Bantani, ulama Hijaz yang sangat masyhur di kalangan intelektual Timur Tengah akhir abad ke-19. Jalinan keluarga Tgh. Ibrahim Al-Khalidy dengan Keluarga Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani melalui putri saudaranya Abdullah bin Umar al-Bantani telah menghasilkan tradisi keluarga (Makkah-Lombok) yang berkesinambungan. Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani sebagai figur dan tokoh dalam jaringan ulama Nusantara membawa motivasi tersendiri bagi Tuan Guru Ibrahim dalam mengembangkan dakwah Islam di bumi Selaparang.
Tahun 1932, Tgh. Khalidy, ayahanda Tgh. Ibrahim kembali ke tanah suci menjenguk putranya, dan kembali pada tahun 1934 M, mengajak Tgh. Ibrahim dan keluarga kembali ke Lombok. Kepulangannya tanpa diikuti oleh istri tercintanya, Hj. Maryam binti Abdullah Umar al-Bantani, dan anak sulungnya Khalid Ibrahim. Sepulangnya dari tanah suci pada tahun 1934, beliau mulai mengabdikan diri mengajar ilmu agama dan bahasa Arab bagi sejumlah pemuda di desa Kediri, namun karena merasa belum cukup dan rindu untuk kembali menimba ilmu pengetahuan, maka pada tahun 1937 kembali berangkat ke tanah suci untuk ketiga kalinya.
Tahun 1940 M/1358 H, ketika berada di Mekah, ia menerima kabar meninggalnya ayahanda tercinta pada malam Senin, tanggal 12 Dzulhijjah. Tgh. Ibrahim diminta keluarganya kembali ke tanah air mengingat meletusnya perang dunia kedua. Karena dikhawatirkan putusnya hubungan Indonesia dan Saudi Arabia. Kepulangannya ke tanah air tidak membawa semua putra putrinya, ia pulang bersama istri, dan putri keduanya, Hj.Maemunah Ibrahim, dan putra ketiganya Wajdi Ibrahim yang masih bayi.
Kepulangannya dari tanah suci tahun 1941 membulatkan tekadnya menetap di Lombok,dan memulai aktifitas mengajar. Tahun ini pula ia merintis pendiriaan Pondok Pesantren
Al-Ishlahuddiny bersama saudara kandungnya Tgh. Mustafa Al-Khalidy, berdakwah mengabdikan diri membina umat, mencetak generasi muda, mendorong santri binaannya melanjutkan studi ke Haramayn serta mengharapkan mereka kembali ke masyarakat untuk menyebarkan dakwah Islam.
Selama hidupnya Tgh. Ibrahim Al-Khalidy juga aktif dalam berbagai aktifitas keagamaan,diantaranya : sebagai peserta dalam Konfrensi Islam Asia Afrika di Bandung, menjadi Wakil Syuriah Nahdlatul Ulama NTB masa kepemimpinan Tgh. Soleh Hambali Bengkel, dan aktif dalam membina toleransi umat beragama sebagaimana terekam dalam buku hariannya. Di sela-sela aktifitas mengajar sebagai guru utama di Pesantren Al-Ishlahuddiny yang didirikan, keberadaan anak dan cucu yang tinggal di Makkah menjadikan ia sering pulang pergi ke tanah suci sambil terus menjalin silaturahmi dengan guru-gurunya di Makkah pada tahun 1966, 1968, dan 1970.
Pada bulan Rajab 1394 H/1974 M, Tgh. Ibrahim berangkat ke tanah suci bersama istri pertama (Hj. Maryam). Perjalanannya terekam dalam buku harian yang ditulis sebelum berangkat,hingga aktifitasnya di tanah suci. Ia tinggal hingga 7 bulan. Pada tahun 1397 H/1977 M kembali berangkat ke tanah suci hingga 1398 H/1978 M, dan terakhir pada tahun 1403 H/1983 M hingga tahun 1404 H/1984 M. Bila dihitung beliau menunaikan ibadah haji 21 kali dan lama mukim di Mekah sekitar 20 tahun bila dihitung sejak belajar dan berhaji di tanah suci.
Tgh. Ibrahim Al-Khalidy, membangun pesantren bersama keluarga besar, baik yang berada di Makkah atau di Lombok. Pernikahannya dengan Hj. Maryam di Makkah al-Mukarramah dikaruniai 8 orang putra putri, sementara di Lombok menikah dengan Hj. Sulhiyah, Hj.Zahrah, dan Inak Sukah. dari istri kedua mendapatkan lima orang putra putri, sementara pernikahannya dengan Hj. Zahrah melahirkan delapan putra putri, sedangkan dari istrinya yang keempat, Inak Sukah dan mendapatkan seorang anak perempuan.
Tahun 1941-1947 M. Merupakan masa perintisan berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlahuddiny Kediri Lombok Barat yaitu masa peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada tahun 1942 yang dilanjutkan dengan peralihan kekuasaan dari Jepang ke Negara Republik Indonesia pada tahun 1945 M. Sejak merintis, Tgh. Ibrahim Al-Khalidy memulainya dengan mngumpulkan anak-anak muda di sekitar desa Kediri. Masa perintisan diawali oleh sekitar 70 siswa dengan mengambil pola layaknya rubath di Haramayn. Pondok pesantren yang ia dirikan di Kediri Lombok Barat dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih eksis hingga saat ini dan telah menelurkan ribuan alumni, khususnya di Lombok dan sekitarnya.
Pada tanggal 2 Sya’ban 1413 H/1993 M, Tgh.Ibrahim Al-Khalidy menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram. Ribuan jamaah kaum muslimin dari berbagai kalangan mengantarkannya ke pemakaman. Rasa duka yang mendalam bagi keluarga, murid-murid, dan masyarakat dapat disaksikan di raut wajah para pelayat, mereka kehilangan sosok ulama yang menjadi panutan umat. Ulama' besar ini dimakamkan pada hari Selasa 3 Sya’ban di Pemakaman Umum desa Kediri, Lombok Barat - NTB. Lahul Faatihah...
Semoga bermanfaat.
Belum ada Komentar untuk "Biografi Singkat Guru Mulia Almagfurlah TGH. Ibrahim Al-Khalidy"
Posting Komentar